Entri Populer

Jumat, 01 Juni 2012

PENDEKATAN KOMUNIKATIF DAN PRAGMATIK A. PENDAHULUAN Aktifitas manusia yang disebut dengan komunikasi merupakan fenomena yang rumit dan terus-menerus berubah. Walaupun demikian, ada beberapa cirri yang bias ditemui pada sebagian besar komunikasi. Cirri-ciri tersebut mempunyai relevansi tertentu dengan pembelajaran dan pengajaran bahasa. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Hal ini haruslah kita sadari benar-benar, apalagi para guru bahasa dan guru bidang studi lain pada umumnya. Dalam tugasnya sehari-hari, para guru bahasa harus benar-benar memahami bahwa tujuan akhir pengajaran bahasa adalah agar para siswa terampil berbahasa: terampil menyimak, berbicara, menulis, dan membaca. Dengan kata lain, agar para siswa mempunyai kompetensi bahasa (language competence) yang baik. Di Indonesia secara umum digunakan tiga buah bahasa dengan tiga domain sasaran, yaitu; bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bahasa Indonesia digunakan dalam domain keindonesiaan atau domain yang sifatnya nasional, seperti bahasa pengantar dalam pendidikan, surat menyurat dinas, dan lain-lain. Bahasa daerah digunakan dalam domain kedaerahan, seperti komunikasi antar penutur daerah, sedangkan bahasa asing digunakan sebagai komunikasi antar bangsa, atau untuk keperluan-keperluan yang menyangkut interlocutor orang asing. B. PEMBAHASAN 1. Pendekatan Komunikatif Komunikatif adalah kata sifat dari kata komunikasi. Secara etimologis, “komunikasi” berasal dari bahasa Latin. Ia terbentuk dari dua suku kata, yakni “cum” dan “umus”. Yang pertama berarti “dengan”, dan lainnya berarti “satu”. Dari dua kata tersebut, terbentuklah kata benda “communio”, lantas di-Inggriskan menjadi “communion” yang berarti kebersamaan, persatuan gabungan, pergaulan, atau hubungan. Karena untuk ber-communio diperlukan adanya usaha dan kerja, maka terbuatlah kata kerja “communicare”, yang artinya: membagi sesuatu dengan seseorang, tukar-menukar, membicarakan sesuatu dengan orang, memberitahukan sesuatu kepada seseorang, bercakap-cakap, bertukar pikiran, berhubungan, berteman. Pendekatan komunikatif yaitu pengajaran bahasa secara komunikatif, artinya pengajaran yang dilandasi oleh teori komunikatif atau fungsi bahasa. Menurut pendekatan ini tujuan pengajaran bahasa adalah untuk mengembangkan kemampuan komunikatif serta prosedur pengajaran keempat kemahiran berbahasa yang mengakui interdepensi atau saling ketergantungan antara bahasa dan komunikasi. Jadi, komunikasi berarti pemberitahuan pembicaraan, percakapan, pertukaran pikiran atau hubungan. Lebih jelas lagi, kata Communicate, seperti dalam LongmanDictionary Of Contemporary, adalah: “to make opinions, feelings, information, etc, known or understood by others”. Pendekatan komunikatif adalah pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang menekankan pada kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dalam situasi keseharian. Beberapa pendapat tentang pendekatan komunikatif: a. Penguasaan secara naluri yang dipunyai seorang penutur asli untuk menggunakan dan memahami bahasa secara wajar dalam proses berkomunikasi atau berinteraksi dan dalam hubungannya dengan konteks sosial (Dell Hymes) b. Pendekatan yang mengintegrasikan pengajaran fungsi-fungsi bahasa dan tata bahasa (Little Wood, 1981) c. Pendekatan yang mendasarkan pandangannya terhadap penggunaan bahasa sehari-hari secara nyata (M. Soenardi Dwiwandono, 1996). Dari pendapat-pendapat di atas tampaknya pendekatan komunikatif ingin ditekankan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam proses interaksi antarmanusia. Komunikasi di sini juga bisa berupa komunikasi lisan maupun tertulis. Latar belakang pendekatan komunikatif ini adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam pengajaran bahasa di negeri Inggris sejak kira-kira tahun 1960-an. Pada waktu itu di inggris situational language teaching merupakan metode yang paling utama dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa inggris. Para ahli linguistik terapan di negeri inggris mulai mempersoalkan kebenaran asumsi-asumsi situational language teaching ini. Hal ini disebabkan sebagian besar oleh kecaman terhadap dikotomi competence and performance. Di samping itu, para ahli di negeri inggris merasa kebutuhan yang mendesak untuk memusatkan perhatian mereka pada kemampuan komunikatif para pelajar bahasa. Istilah dan konsep ”kemampuan komunikatif” itu berasal dari Dell Hymes (1972) yang menulis suatu artikel yang dimuat oleh antara lain Pride dan Holmes (Sosiolinguistic 1972) judul artikel itu ialah On communicative competence, yang isinya antara lain adalah terdiri dari definisi kompetensi komunikatif yaitu penguasaan secara naluri yang dipunyai seorang penutur asli untuk menggunakan dan memahami bahasa secara wajar dalam proses berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain dalam hubungannya dengan konteks social. Pendekatan komunikatif didasarkan pada asumsi bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan bawaan yang disebut language acquisition device atau alat pemerolehan bahasa. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa bersifat kreatif dan lebih ditentukan oleh faktor internal. Pada gilirannya, model pembelajaran bahasa yang menekankan relasi stimulus-respon-penguatan digugat efektifitasnya. Pendekatan komunikatif juga berasumsi bahwa penggunaan bahasa tidak hanya terdiri dari empat kemahiran bahasa(mendengar, berbicara, menulis, dan membaca), tetapi mencakup beberapa kemampuan dalam kerangka komunikatif yang lebih luas, sesuai dengan peran partisipan, situasi, dan tujuan interaksi. Asumsi lainnya adalah bahwa belajar bahasa kedua dan bahasa asing sama seperti belajar bahasa pertama, yaitu berangkat dari kebutuhan dan minat pelajar atau siswa. Oleh karena itu, analisis kebutuhan dan minat siswa merupakan landasan dalam materi kebahasaan. Secara umum, pendekatan komunikatif memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: a. Tujuan pengajaran bahasa adalah mengembangkan kompetensi siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa sasaran dalam konteks komunikasi yang sesungguhnya atau dlam situasi kehidupan yang nyata. Tujuan pendekatan komunikatif tidak ditekankan pada penguasaan gramatika melainkan pada kemampuan memproduk ujaran yang sesuai konteks. b. Salah satu konsep mendasar pendekatan komunikatif adalah kebermaknaan dari setiap bentuk bahasa yang dipelajari dan keterkaitan bentuk, ragam dan makna bahasa dengan situasi dan konteks berbahasa itu. c. Dalam proses belajar mengajar, siswa bertindak sebagai komunikator yang berperan aktif dalam aktifitas komunikatif yang sesungguhnya. Sedangkan guru memprakarsai dan merancang berbagai pola interaksi antar siswa dan berperan sebagai fasilitator. d. Aktifitas dalam kelas diwarnai secara nyata dan dominan oleh kegiatan-kegiatan komunikatif, bukan drill-drill manipulative dan peniruan tanpa makna. e. Materi yang disajikan bervariasi, tidak hanya mengandalkan buku teks, tetapi lebih ditekankan pada bahan-bahan otentik seperti berita, surat kabar, iklan, menu, dll. Dengan demikian, diharapkan pemerolehan bahasa siswa diharapkan meliputi bentuk, makna, fungsi, dan konteks social. f. Penggunaan bhasa ibu dalam kelas tidak dilarang tetapi diminimalkan sebisa mungkin. g. Dalam pendekatan komunikatif, kesalahan berbahasa siswa ditoleransi untuk mendorong keberanian siswa dalam berkomunikasi. h. Evaluasi dalam pendekatan komunikatif ditekankan pada kemampuan menggunakan bahasa dalam kehidupan nyata bukan pada penguasaan struktur bahasa atau gramatika. Ada dua hal yang mendasar dari pendekatan komunikatif ini, yaitu: a. Kebermaknaan dari setiap bentuk bahasa yang dipelajari. Berarti bahwa dalam mempelajari semua bentuk bahasa (urutan kata imbuhan, dan kategori-kategori structural) harus selalu dikaitkan dengan arti makna, karena bahasa adalah pengungkapan ide, konsep, atau nosi (notion). b. Bahwa bentuk ragam dan makna bahasa berhubungan dan terkait dengan situasi dan konteks berbahasa itu. Sedangkan dalam pengajaran bahasa arab dengan pendekatan komunikatif, ada beberapa prinsip yang bias dijadikan pegangan. Prinsip-prinsip tersebut adalah: a. Kalau mungkin sebaiknya menggunakan teks-teks arab dari referensi aslinya seperti surat kabar, majalah, atau lainnya yang berbahasa arab murni. b. Latihan-latihan siswa sebaiknya dengan menggunakan bentuk-bentuk beragam dan model yang berbeda-beda untuk mengungkap suatu makna. c. Memberikan kesempatan yang cukup bagi siswa agar mengungkapkan kreatifitas bahasanya, pikiran-pikirannya dalam semua hal yang telah diketahuinya baik lewat pendengaran maupun bacaan. d. Sebaiknya latihan-latihan untuk menggunakan bahasa dalam memahami konteks-konteks social. e. Peran guru dalam pendekatan komunikatif adalah mempermudah proses belajar dan sebagai fasilitator bagi siswa dalam menggunakan bahasa baik kosakata maupun kalimat di dalam komunikasi yang hidup. f. Adanya kegiatan kebahasaan untuk menumbuhkan ketrampilan komunikasi. g. Mempersedikit penggunaan bahasa ibu serta memperbanyak penggunaan bahasa yang dipelajari sebagai alat komunikasi antara guru dan siswa, tidak hanya ketika menyampaikan materi pelajaran saja. 2. Pendekatan Pragmatik Di dalam kamus besar bahasa Indonesia terdapat kata pragmatik, pragmatis, dan pragmatisme. Kata pragmatik di dalam kamus itu diberi makna sebagai berikut: 1. syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi, 2. susunan pemerintahan, dan 3. berfaedah untuk umum, memberikan hasil yang berguna untuk menambah pengerahuan dan berdasarkan kenyataan. Menurut Charles Morris, istilah pragmatik yang kita gunakan dalam kaitannya dengan pengajaran bahasa berasal dari pembagian bahasa terdiri dari tiga macam, yaitu: 1. syntactics atau sintaksis, adalah kajian tentang hubungan antara unsurunsur bahasa, 2. semantics atau semantic, yakni kajian tentang hubungan unsur-unsur bahasa dengan maknanya, dan 3. pragmatics atau pragmatik, yakni kajian hubungan unsur-unsur bahasa dengan pemakai bahasa. Menurut Suyono yang berdasarkan pendapat dari Levinson menyatakan, “pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”. Dalam kehidupan sehari-sehari sering kita menggunakan istilah yang fragmentaris, “Engkau hendak pergi kemana?”, “Ke pasar”. Kalimat yang fragmentaris ini biasanya hanya dipakai dalam konteks percakapan oleh karena baik pembicara maupun pendengar telah mengetahui apa yang dimaksud. Oleh karena kita memakai dasar konteks (bagaimana kalimat ini digunakan), maka kita berhubungan dengan bidang kajian pragmatik. Kegiatan berbahasa secara aktual adanya sangat kompleks. Pada saat kita menggunakan bahasa itu banyak faktor yang harus diperhatikan agar wujud bahasa yang dihasilkan bisa diterima oleh orang lain dan dapat menyampaikan pesan secara efisien dan efektif. Kegiatan berbahasa dalam peristiwa komunikatif menurut pandangan pragmatik wajib menerapkan secara komprehensif prinsip pemakaian bahasa sebagai berikut: 1. Penggunaan bahasa memperhatikan aneka aspek situasi ujaran; 2. Penggunaan bahasa memperhatikan prinsip-prinsip sopan-santun; 3. Penggunaan bahasa memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama; 4. Penggunaan bahasa memperhatikan faktor-faktor penentu tindak komunikatif. Pragmatik mengarah kepada kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi yang menghendaki adanya penyesuaian bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dengan faktor-faktor penentu tindak komunikatif. Faktor-faktor tindak komunikatif itu antara lain adalah: siapa berbicara dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam peristiwa apa, jalur yang mana (lisan atau tulisan), dan dalam peristiwa apa (bercakap-cakap, ceramah, atau upacara). Suyono mendefinisikan pragmatik sebagai telaah mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat konteks. Sedangkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa komunikasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pragmatik pada hakikatnya mengarah kepada perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya sesuai dengan faktor-faktor dalam tindak komunikatif dengan memperhatikan prinsip-prinsip penggunaan bahasa secara tepat. DAFTAR PUSTAKA  Aziez, Furqanul dan Chaedar Al Wasilah, Pengajaran Bahasa Komunikatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1996  Tarigan,Henry Guntur, Pengajaran Kompetensi Bahasa, Bandung; Angkasa, 1990  Hamid,Abdul, et.al, Pembelajaran Bahasa Arab “Pendekatan, Metode, Strategi, Materi, Dan Media”, Malang; UIN Malang Press, 2008  Subiyakto, Sri Utari -Nababan, Metodologi Pengajaran Bahasa, hlm. 63.  Asyrofi,Syamsudin, dkk, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Pokja Akademik Uin Sunan Kaligaja Yogyakarta; 2006  Efendy,Ahmad Fuad, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang; Misykat 2009  Nababan, Ilmu Pragmatik Teori dan Penerapannya, Jakarta: Dep P & K, 1987  Suyono, Pragmatik Dasar-Dasar dan Pengajarannya, Malang: YA3, 1990  Levinson, Stephen C, Pragmatics, Cambridge: Cambridge University Press Levinson, 1983
selamat datang di blog saya, Laela Majnun.. postingan disini adalah makalah-makalah saya semoga bisa membantu teman2 yg membutuhkan data yg aku posting disini.....

Rabu, 30 Mei 2012

Psikolinguitik-Aural Oral


DASAR PSIKO-SOSIOLINGUISTIS DALAM PENDEKATAN AURAL ORAL (AUDIOLINGUAL)

A.     PENDAHULUAN
Pengajaran bahasa merupakan salah satu bentuk pengajaran yang memiliki cara yang berbeda dalam metode pengajarannya dibandingkan dengan bidang-bidang yang lain. Bahasa sebagaimana kita ketahui didapatkan oleh seseorang melalui dua hal, yaitu melalui perolehan dan melalui pembelajaran. Didapatkan melalui perolehan di sini artinya yakni di mana seseorang untuk pertama kalinya memperoleh bahasa (masih murni, belum memiliki bahasa) dalam penjelasan hal ini yang dimaksud yakni bayi atau balita. Sistem kehidupan inilah yang menyerap semua aspek-aspek tentang bahasa pertamanya dari orang tua, keluarga dan lingkungan sekitarnya tanpa harus belajar.
Untuk memperlancar kegiatan pengajaran bahasa diperlukanlah metode atau suatu rumusan sistem cara pengajaran karena metode pengajaran merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengajaran. Peran suatu metode sangatlah besar dalam suatu pengajaran dan bersangkutan juga dengan siswa yang menjadi objek pengajaran.
dalam makalah yang kami tulis ini, ruang lingkup kajiannya akan membahas mengenai pendekatan aural oral, atau yang disebut juga pendekatan audiolingual. Penulis lebih menekankan pada karakteristik pendekatan aural oral, kelemahan dan kelebihan dari pendekatan aural oral, dan dasar psiko-sosiolinguistisnya dalam pendekatan aural oral.



B.     PEMBAHASAN
1.      Pendekatan Aural-Oral
Approach (pendekatan) merupakan sekumpulan asumsi keyakinan aksiomatik, yaitu rencana menyeluruh yang berhubungan erat dengan penyajian materi pelajaran secara teratur dan tidak saling bertentangan. Pengertian approach disini sama dengan metode. Sesuai dengan namanya, metode aural-oral bersifat aural, yakni menimbulkan daya tangkap pelajar terhadap bahasa yang didengarnya dari ucapan orang lain dan memahami maksudnya. Sifat oral mengandung makna adanya kegiatan agar pelajar dapat menggunakan bahasa secara lisan dalam pergaulan.[1]
Tujuan pendekatan aural-oral dapat dicapai dengan baik dengan menggunakan teknik yang paling efektif, yakni latihan audiolingual atau latihan pola kalimat (pattern driil), yaitu latihan-latihan memperdengarkan berbagai bentuk pola kalimat secara sistematis. Metode ini sangat menguntungkan pengajaran bahasa arab melalui penerapan latihan pola-pola kalimat tersebut karena bahasa arab mempunyai pola-pola kalimat yang sudah sangat teratur. Latihan pola kalimat biasanya dipersiapkan terlebih dahulu dalam rekaman yang sudah diatur derajat kesukarannya. Tingkatan kesulitannya pun diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan tingkat kemampuan pelajar. [2]
Rivers (1981) menjelaskan cirri-ciri utama pendekatan audiolingual itu dengan mengemukakan “lima slogan”, yakni:[3]
a.       Bahasa adalah ujaran, bukan tulisan
b.      Bahasa adalah seperangkat kebiasaan. Suatu perilaku akan menjadi kebiasaan apabila diulang berkali-kali. Oleh karena itu, pengajaran bahasa harus dilakukan dengan teknik pengulangan atau repetesi
c.       Ajarkanlah bahasa, bukan mengenai bahasa, pelajaran bahasa harus diisi dengan kegiatan berbahasa bukan kegiatan mempelajari kaidah-kaidah bahasa.
d.      Bahasa adalah apa yang dikatakan penutur asli
e.       Bahasa berbeda-beda dan beraneka ragam. Oleh karena itu pemilihan bahan ajar harus berbasis hasil analisis konstranstif, antara bahasa ibu pelajar dan bahasa target yang sedang dipelajarinya.
Metode audiolingual juga didasarkan atas teroi tata bahasa structural (TBS). Dalam teori ini, struktur tata bahasa dianggap sama dengan pola-pola kalimat. TBs berlawanan dengan teori bahasa tradisional (TBT) dalam hal berikut: 1) TBT menekankan kesemestaan tata bahasa sedangkan TBS menekankan fakta bahwa semua bahasa di dunia ini tidak sama strukturnya. 2) TBT bersifat perskriptif yang berpandangan  bahwa bahasa yang baik dan benar adalah yang dikatakan baik dan benar oleh para ahli tata bahasa. Sedangkan TBS bersifat deskriptif yang berpandangan bahwa bahasa yang baik dan benar adalah yang digunakan oleh penutur asli dan bukan apa yang dikatakan oleh ahlii bahasa. 3) TBT mengkaji bahasa dari ragam formal (ragam sastra dan sejenisnya), sedangkan TBS mengkaji bahasa dari ragam informal yang digunakan oleh penutur asli dalam interaksi sehari-hari.[4]
Karakteristik pendekatan audiolingual antara lain sebagai berikut:
a.       Tujuan pengajarannya adalah penguasaan empat ketrampilan berbahasa secara seimbang.
b.      Urutan penyajiannya adalah menyimak dan berbicara baru kemudian membaca dan menulis.
c.       Model kalimat bahasa asing diberikan dalam bentuk percakapan untuk dihafalkan.
d.      Penguasaan pola-pola kalimat dilakukan dengan latihan-latihan pola (pattern-practice). Latihan mengikuti urutan: stimulus > response > reinforcement.
e.       Kosakata dibatasi secara ketat dan selalu dihubungkan dengan konteks kalimat atau ungkapan, bukan sebagai kata-kata lepas yang berdiri sendiri.
f.        Pengajaran sistem bunyi secara sistematis agar dapat digunakan/dpraktekkan oelh pelajar, dengan teknik demonstrasi, peniruan, komparasi, kontras, dll.
g.       Pelajaran menulis merupakan representasi dari pelajaran berbicara, dalam arti pelajaran menulis terdiri dari pola kalimat dan kosakata yang sudah dipelajari secara lisan.
h.       Penerjemahan dihindari. Pemakaian bahasa ibu apabila sangat diperlukan untuk penjelasan, diperbolehkan secara terbatas.
i.         Gramatika (dalam atri ilmu) tidak diajarkan pada tahap permulaan. Apabila diperlukan pengajaran gramatika pada tahap tertentu hendaknya diajarkan secara induktif, dan secara bertahap dari yang mudah ke yang sukar.
j.        Pemilihan materi ditekankan pada unit dan pola yang menunjukkan adanya perbedaan structural antara bahasa asing yang diajarkan dan bahasa ibu pelajar. Demikian juga bentuk-bentuk kesalahan siswa yang sifatnya umum dan frekuensinya tinggi. Untuk itu diperlukan analisis konstranstif dan analisis kesalahan.
k.      Kemungkinan-kemungkinan terjadinya kesalahan siswa dalam memberikan response harus sungguh-sungguh diperhatikan.
Selain  karakteristik diatas, terdapat pula kelebihan dan kelemahan motode aural oral ini. Kekuatan dan kelemahan itu antara lain sebagai berikut:
Kekuatan:
-         para pelajar memliki ketrampilan pelafalan yang bagus.
-         Para pelajar terampil membuat pola-pola kalimat baku yang sudah dilatihkan.
-         Pelajar dapat melakukan komunikasi lisan dengan baik karena latihan menyimak dan berbicara yg intensif.
-         Suasana kelas hidup karena para pelajar tidak tinggal diam harus terus menerus merspon stimulus guru.
Kelemahan:
-         Pelajar mampu berkomunikasi dengan lancer hanya apabila kalimat yang digunakan telah dilatihkan sebelumnya di dalam kelas.
-         Makna kalimat yang diajarkan biasanya terlepas dari konteks, sehingga pelajar hanya memahami satu makna, padahal suatu kalimat atau ungkapan bisa mempunyai beberapa makna tergantung konteksnya.
-         Keaktifan mereka di kelas adalah keaktifan semu, karena mereka hanya merespon rangsangan guru.

2.      dasar psiko-sosiolinguistik dalam pendekatan aural oral.
Apabila melihat ke latar belakang pada tahun 1939 Universitas Michigan mengembangkan institute bahasa inggris pertama di amerika serikat, yang menghususkan diri dalam pelatihan guru-guru bahasa inggris sebagai bahasa asing dan salam pengajaran bahasa inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing. Bahasa diajarkan dengan perhatian bersistem, terhadap ucapannya dan dengan latihan-latihan runtun yang intensif mengenai pola-pola kalimat dasarnya. Selain di universitas Michigan, di universitas-univeritas yg lain punseperti di Washington dc. Para pakar linguistik amerika serikat menjadi bertambah aktif, baik di amerika maupun di luar negeri dalam mengawasi program-program bagi pengajaran bahasa inggris.
Dalam berbagai hal, metodologi yang digunakan oleh pakar linguistik dan para ahli pengajaran bahasa amerika serikat pada periode ini agak bersamaan dengan oral approach Inggris. Pendekatan yang dikembangkan oleh universitas Michigan dan universitas lainnya itu menjadi terkenal dengan berbagai nama, oral approach, aural-oral approach, dan structural approach. Pendekatan ini menganjurkan pelatihan awal terlebih dahulu, kemudian pelatihan ucapan, diikuti oleh berbicara, membaca dan menulis. Bahasa diperkenalkan dengan ujaran, dan ujaran didekati melalui struktur.[5] Kalaupun ada suatu teori pembelajaran yang mendasari materi-materi aural-oral, maka hal itu merupakan suatu aplikasi gagasan yang dapat diterima oleh akal sehat bahwa “practice make perfect” bahwa latihan/prakteklah yang membuatnya sempurna. Tidak ada acuan eksplisit bagi teori pembelajaran mutahir ini dalam karya Fries. Justru gabungan dan kerjasama prinsip-prinsip linguistik pendekatan aural–oral dengan teroi pembelajaran pikologis yang mantap pada pertengahan tahun 1950-an yang membimbingnya kea rah suatu metode yang muncul dan dikenal dengan audiolingualisme. Dari sini jelas bahwa pendekatan aural-oral mempunyai dasar psiko-sosiolinguistis.



DAFTAR PUSTAKA

-         Ahmad Izzam, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Bandung; humaniora 2009
-         Henry Guntur Tarigan, Metodologi Pengajaran Bahasa 1, Bandung, angkasa 1991
-         Ahmad Fuad Effendi, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang; Misykat 2009



[1] Ahmad izzam, metodologi pembelajaran bahasa arab, bandung; humaniora 2009 hlm. 84
[2] Ibid, hlm. 84
[3] Henry Guntur tarigan, metodologi pengajaran bahasa 1, angkasa, bandung 1991 hlm. 131
[4] Ahmad fuad effendi, metodologi pengajaran bahasa arab, malang; misykat 2009 hlm. 58
[5] Henry Guntur tarigan, metodologi…… hlm. 126-127

Selasa, 13 Maret 2012

kritik matan hadits

KRITIK MATAN HADITS
A.    PENDAHULUAN
Hadits bagi umat Islam menempati urutan kedua sesudah Al-Qur’an, disamping sebagai sumber ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah SAW, juga karena fungsi sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al Qur’an dan sebagainya. Kebutuhan umat Islam terhadap hadis (sunah) sebagai sumber ajaran agama terpusat pada subtansi doktrinal yang tersusun secara verbaldalam komposisi teks (redaksi) matan hadis. Target akhir pengkajian ilmu hadis sesungguhnya terarah pada matan hadis, sedangkan yang lain ( sanad, lambang perekat riwayat, kitab yang mengkoleksi ) berkedudukan sebagai perangkat bagi proses pengutipan, pemeliharaan teks, dan kritik. Dalam studi hadits, persoalan sanad dan matan yang penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadits. Kedua unsur itu begitu penting artinya, dan antara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya akan berpengaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadits.
B.     KRITIK MATAN
1.      Pengertian
Kata naqd dalam bahasa Arab lazim diterjemahkan dengan “kritik”. Kritik sendiri berarti menghakimi, membanding, menimbang. Naqd dalam bahasa Arab populer berarti penelitian, analisis, pengecekan, dan pembedaan. Dalam pembicaraan umum orang Indonesia kata kritik berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisaan, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya. Dari tebaran arti kebahasaan tersebut, kata kritik bisa diartikan sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (tiruan/palsu).[1]
Kata dasar matan dalam bahasa Arab berarti “punggung jalan” atau “bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas”[2]. Apabila dirangkai menjadi matan al hadits, menurut al-Thibiy seperrti yang dinukil oleh Musfir al-Damini adalah:
الفاظ الحديث التى تتقوم بها المعانى

“kata-kata hadits yang dengannya terbentuk makna-makna”[3]
Definisi ini sejalan dengan pandangan Ibn al-Atsir al-Jazari, bahwa setiap matan hadits tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna (konsep). Dengan demikian, komposisi ungkapan matan hadits pada hakikatnya adalah pencerminan konsep idea yang intinya dirumuskan berbentuk teks. Susunan kalimat dalam matan hadits berfungsi sebagai sarana perumus konsep keagamaan versi hadits. Teks matan disebut juga nash al-hadits atau nash al-riwayah.[4]
Tata letak matan dalam struktur utuh penyajian hadis senantiasa jatuh setelah ujung terakhir sanad. Kebijakan peletakan itu menunjuk fungsi sanad sebagai pengantar data mengenai proses sejarah transfer informasi hadis dari narasumbernya. Dengan kata lain, fungsi sanad merupakan media pertanggungjawaban ilmiah bagi asal usul fakta kesejahteraan teks hadis. Istilah hadits yang dianggap sinonim dengan sunnah oleh muhadissin diartikan sebagai segala sabda, perbuatan, penetapan, pengakuan, sifat perangai, hal ihwal pribadi, dan perjalanan hidup yang bersandarkan pada Rasulullah SAW., baik yang terjadi sebelum diangkat menjadi rasul atau sesuadahnya.
Kritik hadis pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisis secara kritis apakah fakta sejarah kehadisan itu dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat yang terekspos dalam ungkapan matan. Lebih jauh lagi, kritik hadis bergerak pada level menguji apakah kandungan ungkapan matan itu dapat diterima sebagai sesuatu yang secara historis itu benar.
Secara historis, sesungguhnya kritik atau seleksi (matan) hadis  dalam arti upaya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah telah ada dan dimulai pada masa Nabi masih hidup meskipun dalam bentuk yang sederhana. Praktik penyelidikan atau pembuktian untuk meneliti hadis Nabi pada masa itu  tercermin dari kegiatan para sahabat pergi menemui atau merujuk kepada Nabi untuk membuktikan apakah sesuatu benar-benar telah dikatakan oleh beliau. Praktik tersebut  antara lain  pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, ‘Abdullah bin ‘Amr, ‘Umar bin Khattab, Zainab istri Ibn Mas’ud dan lain-lain.
Setelah Nabi wafat (11 H=632 M), tradisi kritik  hadis dilanjutkan oleh para sahabat. Pada periode ini, tercatat sejumlah  sahabat perintis dalam bidang ini, yaitu Abu Bakar as-Siddiq (w. 13 H=634 M), yang diikuti oleh Umar bin Khattab (w. 234 H=644 M) dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H=661 M). Sahabat-sahabat lain yang dikenal pernah melakukan kritik hadis, misalnya ‘Aisyah (w. 58 H=678 M) istri Nabi, dan ‘Abdullah bin  ‘Umar bin al-Khattab (w. 73 H=687 M).[5]

2.      Urgensi Kritik Matan
Menurut Shalahuddin al-Dhabi, urgensi obyek studi kritik matan tampak dari beberapa segi, di antaranya :
a.              Menghindari sikap kekeliruan (tasahhul) dan berlebihan (tasyaddud) dalam meriwayatkan suatu hadis karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan.
b.             Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri periwayat.
c.              Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan hadis dengan menggunakan sanad hadis yang shahih, tetapi matan-nya tidak shahih
d.             Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa periwayat. Di sini, kita harus memiliki teori kritik yang komprehensif untuk menentukan mana yang paling tepat dan pantas untuk dinisbahkan kepada Rasulullah SAW  dan untuk menolak yang tidak sesuai.
Selanjutnya, masih menurutnya, ada beberapa kesulitan dalam melakukan penelitian terhadap obyek studi kritik matan, yaitu :
a.              Minimnya pembicaraan mengenai kritik matan dan metodenya.
b.             Terpencar-pencarnya pembahasan mengenai kritik matan
c.              Kekhawatiran terbuangnya sebuah hadis.[6]
Selain itu, menurut M. Syuhudi Ismail penelitian terhadap matan memang sulit dilakukan.  Kesulitan penelitian matan disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:
a.              Adanya periwayatan secara makna.
b.             Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja.
c.              Latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah dapat diketahui.
d.             Adanya kandungan hadis yang berkaitan dengan  hal yang berdimensi “supra rasional”.
e.              Dan masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan hadis.[7]

3.      Kriteria Kesahihan Matan
Ulama hadits dalam menetapkan dapat diterimanya suatu hadits tidak hanya mensyaratkan hal-hal yang berkaitan dengan rawi hadits saja. Hal ini, disebabkan karena hadits sampai kepada kita melalui mata rantai yang teruntai dalam sanad-nya. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits disela-sela mata rantai tersebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadits yang dapat diterima dan mana hadits yang harus ditolak.
Pada umumnya para pakar hadits mengklasifikasikan hadits kedalam tiga bentuk, yaitu: shahih, hasan dan dha'if. Adapun hadits maudhu' tidak termasuk dalam pembagian tersebut, karena pada dasarnya itu bukan hadits. Penyebutannya sebagai hadits hanya dikatakan oleh orang yang suka membuatnya.
Sebagai langkah selanjutnya adalah mengadakan penelitian pada bidang materi (matan) dengan memakai criteria-kriteria atau patokan yang secara garis besarnya sebagai berikut:
a.       Ungkapannya tidak dangkal, sebab yang dangkal tidak akan pernah diucapkan oleh orang yang mempunyai apresiasi sastra tinggi atau fasih.
b.      Tidak menyalahi orang yang luas pandangannya atau pikirannya, sebab sekiranya menyalahi tidak mungkin ditakwil.
c.       Tidak menyimpang dari kaedah umum dan akhlak.
d.      Tidak menyalahi perasaan dan pengamatan.
e.       Tidak meyalahi cendekiawan dalam bidang kedokteran dan filsafat.
f.       Tidak mengandung kekerdilan, sebab syari’ah jauh dari sifat kerdil.
g.      Tidak bertentangan dengan akal sehubungan dengan pokok-pokok kaidah, termasuk sifat-sifat Allah dan Rosul-Nya.
h.      Tidak bertentangan dengan sunatullah mengenai alam semesta dan kehidupan manusia.
i.        Tidak mengandung sifat na’if, sebab orang berakal tidak pernah dihinggapinya.
j.        Tidak menyalahi al-Qur’an dan al-Sunnah yang telah jelas hukumnya, tidak juga menyalahi ijma’ para ulama ataupun ketetapan agama yang telah menjadi keharusan yang tidak perlu ditafsirkan lagi.
k.      Tidak bertentangan dengan sejarah yang telah diketahui umum mengenai zaman Nabi.
l.        Tidak menyerupai mazhab rawi yang ingin benar sendiri.
m.    Tidak menguraikan riwayat yang isinya menonjolkan kepentingan pribadi.
n.      Tidak mengandung uraian yang isinya membesar-besarkan pahala dari perbuatan yang minim dan tidak mengandung ancaman besar terhadap perbuatan dosa kecil.
o.      Tidak meriwayatkan suatu kejadian yang dapat disaksikan orang banyak,padahal riwayat tersebut hanya disaksikan oleh seorang saja.[8]

4.      Prosedur kritik matan
Langkah-langkah metodologis kegiatan kritik matan adalah sebagai berikut:
a.         Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.
1). Meneliti matan sesudah meneliti sanad. Diilihat dari segi objek penelitian, matan dan sanad hadis memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-sama penting untuk diteliti dalam hubungannya dengan status kehujahan hadis. Dalam urutan kegiatan penelitian hadis, ulama hadis mendahulukan penelitian sanad atas penelitian matan.[9]
Setiap matan harus bersanad. Bagi ulama hadis, dua bagian riwayat hadis itu sama pentingnya, hanya saja penelitian matan barulah mempunyai arti apabila sanad bagi matan hadis yang bersangkutan telah jelas-jelas memenuhi syarat. Tanpa adanya sanad, maka suatu matan tidak dapat dinyatakan berasal dari Rosulullah. Apabila ada suatu ungkapan yang oleh pihak-pihak tertentu dinyatakan sebagai hadis nabi, padahal ungkapan tersebut sama sekalai tidak memiliki sanad, maka menurut pala ulama hadis ungkapan tersebut dinyatakan sebagai hadis palsu.[10]
2). Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanadnya,. Menurut ulama hadis, suatu hadis barulah dinyatakan berkualitas shahih apabila sanad dan matannya sama-sama berkualitas shahih. Dengan demikian hadis yang sanadnya shahih dan matannya tidak shahih atau sebaliknya sanadnya dhaif dan matannya shahih, tidak dinyatakan sebagai hadis shahih.
3). Kaidah kesahihan matan sebagai acuan.
b.         Meneliti susunan lafal yang semakna.
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafal pada matan hadis yang semakna adalah karena dlam periwayat hadis telah terjadi periwayatan secara makna. Menurut ulama hadis perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama shahih, maka hal itu tetap dpat ditoleransi.[11]
c.         Meneliti kandungan matan
Membandingkan kandungan matan yang semakna atau tidak bertentangan.
Setelah susunan lafal diteliti, maka langkah berikutnya adalah meneliti kandungan matan. Dalam meneliti kandungan matan, perlu diperhatikan matan-matan dan dalil-dalil lain yang mempunyai topic masalah yang sama. Apabila kandungan matan yang diperbandingkan ternyata sama, maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian telah berakhir. Apabila kandungan matan yang diteliti ternyata sejalan dengan dalil-dalil yang kuat, minimal tidak bertentangan, maka dapatlah dinyatakan bahwa kegiatan penelitian telah selesai. Apabila yang terjadi sebaliknya, yakni kandungan matan yang bersangkutan tampak bertentangan dengan matan atau dalil yang kuat maka kegiatan penelitian ini masih harus dilakukan.[12]
d.        Menyimpulkan hasil penelitian.
Setelah langkah-langkah yang telah dikemukakan diatas selesai dilakukan, maka langkah terakhir yang dilakukan oleh peneliti adalah menyimpulkan hasil penelitian matan. Karena kualitas matan hanya dikenal dua macam saja, yakni shahih dan dhaif, maka kesimpulan penellitian matan juga akan berkisar pada dua kemungkinan tersebut. Sebagaimana penelitian sanad, maka dalam menyimpulkan penelitian matan juga harus didasarkan kepada argument-argumen yang jelas. Argument-argumen itu dapat dikemukakan sebelum diajukan natijah ataupun sesudah dijatuhkan natijah.
Sedangkan menurut Hasjim Abbas, langkah-langkah kritik matan terdiri atas:
a.       Proses kebahasaan, termasuk kritik teks yang mencermati keaslian dan kebenaran teks, format qauli atau format fi’li. Target analisis proses kebahasaan matan hadis ini tertuju pada upaya penyelamatan hadis dari pemalsuan dan jaminan kebenaran teks hingga ukuran sekecil-kecilnya.
b.      Analisis terhadap kandungan isi makna pada matan hadis. Target kerja analisisnya berorientasi langsung pada aplikasi ajaran berstatus layak diamalkan, harus dikesampingkan atau ditangguhkan pemanfaatnnya sebagai hujjah syar’iyyah.
c.       Penelusuran ulang nisbah (asosiasi) pemberitaan dalam matan hadis kepada narasumber.[13]
5.      Contoh penelitian matan hadis
Meneliti matan hadis yang kandungannya tampak bertentangan dengan matan hadis yang lain.
Dalam hadis riwayat Muslim, ad-Darimi, dan Ahmad dinyatakan:
عن أبى سعيد الخدري أنّ رسول الله صلله عليه وسلم قال: ولا تكتبوا عنِّى ومن كتب عنِّى غير القرآن فليمحه. (روه المسلم والدارمي و أحمد)
“(hadis riwayat)  dari Abu Sa’id al Khudri bahwa Rosulullah telah bersabda, Janganlah kamu tulis (apa yang berasal) dariku dan barang siapa yang menulis dariku selain Alquran, maka hendaklah dia menghapusnya.”
Hadis diatas tampaklah berbeda bertentangan dengan hadis riwayat al-Bukhari,Muslim, dan Abu Daud yang berbunyi:
عن أبى هريرة عنِ النّبيِّ قال: اُكتبوا لأبِى شاه. (روه البخاري ومسلم و أبو داود)
(hadis riwayat) dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW,… beliau bersabda (kepada para sahabat), Tulislah (khotbah saya tadi) untuk Abu Syah (yang telah minta untuk dituliskan tersebut).
Masih ada beberapa hadis yang senada dengan kedua hadis yang disebutkan terakhir diatas. Kandungan matan hadis yang dikutip pertama tampak bertentangan dengan kandungan matan hadis berikutnya.
Dalam upaya menyelesaikan kandungan matan hadis yang tampak bertentangan itu, ulama berbeda pendapat. Ibnu Hajar al-Aasqalani telah menghimpun pendapat-pendapat itu menjadi lima macam, yakni:
1.         Pengkompromian, dalam hal ini hadis yang mengandung larangan menulis hadis dipahami sebagai berstatus khusus (khass) untuk saat ayat Alquran turun dan keizinan menulis hadis berlaku di luar waktu tersebut. Kebijaksanaan Nabi itu berlatar belakang kekhawatiran terjadinya kerancuan catatan Alquran dengan yang bukan Alquran.
2.         Pengkompromian, dalam hal ini larangan penulisan dipahami sebagai berstatus khusus (khass) bagi yang mencampuradukkan catatan Alquran dan hadis Nabi pada satu himpunan catatan, sedang keizinan berlaku bagi yang melakukan penulisan secara terpisah antara catatan Alquran dan catatan hadis Nabi.
3.         Penerapan an-nasikh wal-mansukh, yakni hadis yang berisi larangan menulis hadis merupakan kebijaksanaan Nabi yang datangnya lebih dahulu, sedang kebijaksanaan yang terakhir berisi keizinan untuk menulis hadis sebab kekhawatiran terjadinya kerancuan catatan Alquran dan hadis telah tidak ada lagi.
4.         Pengkompromian, dalam hal ini larangan berstatus khusus bagi orang yang kuat hafalannya yang dikhawatirkan dia lalu hanya menyandarkan pengetahuan hadisnya kepada catatan saja, sedang keizinan menulis hadis diberikan kepada yang tidak kuat hafalannya.
5.         Menurut al-Bukhari dan lain-lain, hadis yang mengandung larangan menulis hadis, yakni riwayat Abu Sa’id al Khudri tersebut berstatus mauquf (hadis yang disandarkan kepada sahabat dan tidak sampai ke Nabi); hal itu menjadikan hadis yang bersangkutan mengandung cacat (‘illat).  Dan karenanya tidak dapat dijadikan hujjah.
Penjelasan ini dijadikan rujukan oleh ulama berikutnya. Ahmad Muhammad Syakir menyatakan bahwa dari kelima pendapat itu, yang kuat adalah yang menerapkan an-nasikh wal-mansukh, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1.      Hadis yang dikutip kedua (riwayat Abu Hurairah tentang perintah menulis untuk diberikan kepada Abu Syah) terjadi pada waktu fathu Makkah, sedang hadis riwayat Abu Sa’id al Khudri yang berisi larangan menulis selain Alquran terjadi sebelum fathu Makkah.
2.      Menurut pengakuan Abu Hurairah, yang membedakan dirinya dengan ‘Abdullah bin ‘Amr adalah soal mencatat hadis, yakni Abu Hurairah hanya mengandalkan hafalan, sedangkan ‘Abdullah bin ‘Amr selain menghafal juga menulis hadis-hadis yang diterima dari Nabi. Kata Saykir lebih lanjut, pengakuan Abu Hurairah itu menunjukkan bahwa kegiatan menulis yang dilakukan oleh Ibn ‘Amr itu adalah pada masa setelah Abu Hurairah memeluk Islam. (Abu Hurairah masuk Islam sekitar tiga tahun sebelum Nabi wafat).[14]
C.     Penutup
Sekiranya setiap matan hadis telah secara meyakinkan berasal dari Rosulullah, maka penelitian terhadap matan, demikian juga terhadap sanad hadis tidak diperlukan. Kenyataanya, seluruh matan hadis yang sampai ke tangan kita berkaitan erat dengan sanadnya, sedang keadaan sanad itu sendiri masih diperlukan penelitian secara cermat, maka dengan sendirinya keadaan matan perlu diteliti secara cermat juga.
Perlunya penelitian matan hadis tidak hanya karena keadaan matan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga karena dalam periwayatan matan hadis dikenal adanya periwayatan secara bermakna (riwayah bil-ma’na). Ulama ahli hadis memang telah menetapkan syarat-syarat sahnya periwayatan secara makna, namun hal ini tidaklah berarti bahwa seluruh periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadis telah mampu memenuhi dengan baik semua ketentuan itu.







DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasjim, Kritik Matan Hadis, bulan bintang; Jakarta 2006
Ali, Nizar Memahami Hadis Nabi, pustaka pelajar, Yogyakarta
Ismail, Syuhudi Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Bulan Bintang; Jakarta,
Mandzur, Ibnu, Lisan Al Arab (Beirut: dar lisan al – arab, tt) edisi ke III




[1] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal. 13
[2] Ibnu Mandzur, Lisan Al Arab (Beirut: dar lisan al – arab, tt) III: hal. 434-435
[3] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal. 13
[7] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hal. 26
[8] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi, hal. 18-19
[9] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hal. 114
[10] Ibid, hal. 114
[11] Ibid, hal. 124
[12] Ibid, hal. 133
[13] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal. 16
[14] Syuhudi Ismail, Metodologi…., hlm 138-141