Entri Populer

Senin, 12 Desember 2011

Martin Heidegger

EKSISTENSIALISME MARTIN HEIDEGGER
Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Pada umumnya kata eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi di dalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Cara manusia berada di dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu berada di samping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikian dengan cara manusia berada. Manusia berada bersama-sama dengan benda-benda itu, dan benda-benda itu menjadi berarti karena manusia.disamping itu manusia berada bersama-sama dengan sesama manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan bahwa benda-benda “berada”, sedangkan manusia “bereksistensi”. Jadi hanya manusialah yang bereksistensi.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang bersifat antropologis, karena memusatkan perhatiannya pada otonomi dan kebebasan manusia. Maka, sementara ahli memandang eksistensialisme sebagai salah satu bentuk dari humanisme. Hal ini juga diakui oleh Jean-Paul Sartre, sang filsuf eksistensialis yang sangat terkenal.[1]
Filsafat ini diawali oleh Soren Kirkegaard (1813-1855) dengan leap of faith-nya yang kemudian dianggap sebagai pendiri eksistensialisme, yang kemudian dilanjutkan oleh F. Nietzche dan mulai merambah dunia Eropa seperempat abad kedua abad XX lewat karya-karya Martin Heidegger, K. Jaspers, G. Marcel, dan juga Jean Paul Sartre.[2] Pada makalah ini akan dibahas bagaimana pemikiran filsafat eksistensialisme Martin Heidegger.
BIOGRAFI MARTIN HEIDEGGER
Martin Heidegger lahir tanggal 26 September 1889 di kota kecil messkirch baden, jerman dan mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di eropa dan amerika selatan. Ia menerima gelar doctor dalam bidang filsafat dari universitas Freiburg dimana ia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas fenomenologi). Disertasinya berjudul die lehre von urteil in psycologismus (ajaran tentang putusan dalam psikolog). Ia adalah anak seorang pastor pada gereja katolik santo mortinus. Sebelumnya ia kuliah di fakultas theology sampai empat semester lalu pindah ke filsafat di bawah bimbingan heinrich rickert, penganut filsafat neo-kantianisme yang juga banyak memberi pengaruh kepadanya.[3]
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Secara sederhana, kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "Ada" (atau apa artinya "berada"). Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dari Plato hingga Descartes, dan belakangan ini pada Masa Pencerahan. Heidegger berusaha mendasarkan Ada di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian kemampuannya untuk kita pahami.
Demikianlah Heidegger memulai di mana Ada itu dimulai, yakni di dalam filsafat Yunani, membangkitkan kembali suatu masalah yang telah lenyap dan yang kurang dihargai dalam filsafat masa kini. Upaya besar Heidegger adalah menangani kembali gagasan Plato dengan serius, dan pada saat yang sama menggoyahkan seluruh dunia Platonis dengan menantang saripati Platonisme - memperlakukan Ada bukan sebagai sesuatu yang nirwaktu dan transenden, melainkan sebagai yang imanen (selalu hadir) dalam waktu dan sejarah. Hal ini yang mengakibatkan kaum Platonis seperti George Grant menghargai kecemerlangan Heidegger sebagai seorang pemikir meskipun mereka tidak setuju dengan analisisnya tentang Ada dan konsepsinya tentang gagasan Platoniknya.[4]
Meskipun Heidegger adalah seorang pemikir yang luar biasa kreatif dan asli, dia juga meminjam banyak dari pemikiran Friedrich Nietzsche dan Soren Kierkegaard. Heidegger dapat dibandingkan dengan Aristoteles yang menggunakan dialog Plato dan secara sistematis menghadirkannya sebagai satu bentuk gagasan. Bagitu juga Heidegger mengambil intisari pemikiran Nietzsche dari sebuah fragmen yang tak terbit dan menafsirkannya sebagai bentuk puncak metafisika barat. Karya Heidegger berupa transkrip perkuliahan selama 1936 tentang Nietzsche’s Will to Power as Art kurang bernilai akademis dibandingkan karyanya sendiri yang lebih asli. Konsep Heidegger tentang kecemasan angst dan das sein berasal dari konsep Kierkegaard tentang kecemasan, pentingnya relasi subjektivitas dengan kebenaran, eksistensi di hadapan kematian, kesementaraan eksistensi, dan pentingnya afirmasi diri dari Ada seseorang di dalam dunia.[5]
Eksistensialisme Martin Heidegger
Menurut Kierkegard, pertama-tama yang penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri. Akan tetapi harus ditekankan, bahwa eksistensi manusia bukanlah suatu “ada” yang statis, melainkan suatu “menjadi”, yang didalamnya mengandung didalamnya suatu perpindahan, yaitu perpindahan dari “kemungkinan” ke “kenyataan”. Apa yang semula berada sebagai kemungkinan berubah atau bergerak menjadi kenyataan. Perpindahan atau perubahan inilah suatu perpindahan yang bebas, yang terjadi dalam kebebasan dan keluar dari kebebasan, yaitu karena pemilihan manusia. Jadi eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan.[6]
Tiap eksistensi memiliki cirinya yang khas. Kiekergaard membedakan adanya 3 bentuk eksistensi, yaitu bentuk estetis, bentuk etis, dan bentuk religi.[7]
Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karna itu kata eksistensi diarrtikan manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Ia dapat meragukan sesuatu, namun satu hal yang pasti bahwa dirinya ada. Dirinya itu disebut “aku”. Segala sesuatu disekitarnya dihubungkan dengan dirinya (mejaku, kursiku, temanku, dsb). Di dalam dunia manusia menentukan keadaannya dengan perbuatan-perbuatannya. Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menemukan pribadinya dengan seolah-olah keluar dari dirinya sendiri dan menyibukkan diri dengan apa yang diluar dirinya. Ia menggunakan benda-benda disekitarnya. Dengan kesibukan itulah ia menemukan dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan dunia luarnya. Demikianlah dia bereksistensi.
Bereksistensi seperti ini oleh Heidegger disebut Dasein, dari kata da (disana) dan sein (berada), sehingga kata ini berrarti: berada disana, yaittu di tempat. Manusia senantiasa menempatkan diri ditengah-tengah dunia sekitarnya, sehingga ia terlibat dalam alam sekitarnya dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia sadar akan keberadaannya.
Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang terjelma dalam bermacam-macam system, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada  cirri-ciri yang sama yang menjadikan system-sistem itu dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme. Paling sedikit ada 4 pemikiran yang jelas dapat disebut filsafat eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl  Jaspers, dan Gabriel Marcel.
Beberapa ciri yang dimiliki bersama diantaranya sebagai berikut:
1.    Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanistis.
2.    Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
3.    Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesama manusia.
4.    Filsafat eksistensialisme member tekanan kepada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger member tekanan pada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu; Marcel kepada pengalaman keagamaan, dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan.
Menurut Heidegger, persoalan tentang “berada” ini hanya dapat dijawab melalui ontology, artinya: jikalau persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Agar supaya usaha ini berhasil, harus dipergunakan metode fenomenologis. Demikianlah yang penting ialah menemukan arti “berada” itu.
Satu-satunya berada yang sendiri dapat dimengerti sebagai berada ialah berada –nya manusia. Harus dibedakan antara “berada” (sein) dan yang “berada” (seiende). Ungkapan seiende hanya berlaku bagi benda-benda, yang bukan manusia, yang jika dipandang dari dirinya sendiri artinya terpisah dari segala yang lain, hanya berdiri sendiri. Benda-benda itu hanya “vorhanden”, artinya hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu. Benda-benda itu hanya berarti jika dihubungkan dengan manusia.
Secara fenomenologis, hubungan sehari-hari antara manusia dan dunianya itu bersifat praktis. Hubungan itu dapat disebut demikian, bahwa manusia sibuk dengan dunia, atau mengerjakan dunia, atau mengusahakan dunia, dan sebagainya, yang semuanya dirangkumkan Heidegger dalam kata besorgen (memelihara). Hubungan asli yang dalam kesatuan antara dasein dan dunia adalah besorgen (memelihara). Di dalam dunia itu manusia tampak sebagai yang berbuat. Perbuatan itu bukan hanya dalam bentuk perbuatan yang kongkrit, tetapi jika manusia itu diam, ia berbuat. Ada suasana perbuatan praktis dan teoritis (manusia diam). Praktis, manusia bertemu dengan benda-benda dan berbuat dengan benda-benda tersebut, contoh: kayu jadi kursi, meja, dll. Dan manusia lebih disibukkan dengan perbuatan yang praktis yang berkaitan dengan dunia yang dijumpainya. Demikianlah  ciri khas Dasein adalah dunia dan memiliki dunia.
Dalam hidupnya sehari-hari manusia bersikap praktis, disibukkan dengan benda-benda yang tersedia untuk ditangani (zuhanden) sehingga benda-benda itu memiliki tabiatnya sendiri-sendiri, menjadi alat yang dipakai manusia. Benda-benda itu senantiasa diberi kaitan, dijadikan alat untuk melakukan sesuatu. Fungsi itu baru dimiliki jika telah ditentukan oleh manusia (kayu sebagai bahan bakar atau bahan bangunan).
Manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar kepada 3 hal asasi yang penting, yaitu befindlichkeit atau kepekaan, verstehen atau mengerti, memahami, dan rede atau kata-kata atau hal berbicara.
Befindlichkeit atau kepekaan ini diungkapkan dalam bentuk perasaan dan emosi. Bahwa manusia merasa senang, kecewa, takut, dsb, itu bukan karena akibat pengamatan hal-hal yang bermacam-macam, tetapi suatu bentuk dari “berada di dalam dunia”, suatu hubungan yang asli terhadap dirinya sendiri. Manusia berada di dalam dunia dengan kepekaan itu. Di dalam hidup sehari-hari ia dapat mendesakan kepekaan itu, dapat menindasnya atau mengalahkannya, akan tetapi tetap ia akan mengalami kepekaan itu. Inilah kenyataan hidupnya, inilah nasibnya. Ia telah “terlempar” (geworfen) ke situ. Oleh karena itu befindlichkeit atau kepekaan adalah pengalaman yang elementer menguasai realitas, itulah keadaan dimana dunia dihadapkan dengan kita, itulah keadaan dimana kita menemukan dan menjumpai dunia sebagai nasib, dan dimana kita sekaligus menghayati kenyataan eksistensi kita yang serba terbatas dan ditentukan. Jadi kepekaan mendasari sesuatu yang kongkrit.
Yang dimaksud dengan verstehen atau mengerti atau memahami ini bukan pengertian yang biasa, melainkan dasar segala pengertian. Jika befindlichkeit atau kepekaan dikatikan dengan segi nasib manusia, maka pengertian dikaitkan dengan kebebasan manusia. Hal mengerti ini bersangkut-paut dengan manusia dan kemungkinan-kemungkinannya. Manusia hidup dalam suatu kesadaran akan “berada”nya. Dilihat dari kesadaran akan “berada”-nya ini seluruh dunia penuh dengan kepentingan dan arti. Akan tetapi kepentingan-kepentingan dan arti itu hanya dapat dilihat dari kesatuannya dengan eksistensinya. Pertama-tama manusia tahu atau mengerti akan kemungkinan-kemungkinannya yang ada pada dirinya. Dari situ tampaklah dunia dengan segala kemungkinannya untuk dapat dipakai, diambil manfaatnya, dsb. Pengertian ini senantiasa diarahkan kepda kemungkinan akan sesuatu dan syarat-syaratnya untuk mencapai sesuatu itu. Hal ini disebabkan karena dalam pengertian ini telah tersirat struktur yang eksistensial, yang disebut entwurf  atau rencana. Pengertian itu merencanakan “berada”-nya  Dasein. Oleh karena itu manusia merencanakan dan merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya sendiri, dan sekaligus juga kemungkinan-kemungkinan dunia. Jadi verstehen atau pengertian termasuk cara berada manusia.
Rede atau hal berbicara mewujudkan asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan berkomunikasi serta bagi bahasa. Kata-kata berhubungan dengan arti. Di dalam ungkapan “mengerti” didalam hidup sehari-hari telah tersirat segala kemungkinan untuk menjelaskan sesuatu sebagai sesuatu dalam rangka rencana yang diarahkan kepada arah tertentu. Secara a priori manusia telah memiliki “daya untuk berbicara”. Ia adalah makhluk yang dapat berbicara. Sambil berbicara ia mengungkapkan diri. Pengungkapannya adalah suatu pemberitahuan.[8]
Dasein selalu berada dalam proses pelaksanaan diri. Proses dimana dasein melaksanakan diri ditunjuk dengan masa mendatang. Waktu lampau dan sekarang, harus dimengerti atas dasar waktu mendatang. Waktu adalah tahap-tahap yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara masa lalu, sekarang, dan akan datang.
Bagi Heidegger, waktu itu sama real-nya, dan dalam rentangan waktu itulah seseorang senantiasa berada dalam kemungkinan-kemungkinan dan potensialitas ini menjadi alternative bagi manusia untuk bertindak. Dalam kondisi seperti inilah manusia terbentur pada kehilangan-kehilangan. Maksudnya, ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal-hal yang belum terealisasi. Sementara perasaan yang belum terealisasi itulah yang kemudian memunculkan perasaan cemas pada diri manusia , karena ia terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan.[9]
Penutup
Demikianlah gambaran Martin Heidegger dalam membangun pemikiran filsafat eksistensialismenya. Dari sana bias dilihat bahwa tidak sepenuhnya keinginan Heidegger untuk bias keluar dari sekat-sekat pemikiran para filosof sebelumnya berhasil, terutama Husserl. Meski demikian, instruksi Heidegger lewat sein dan zeit-nya merupakan sumbangan yang sangat berrarti bagi kehidupan manusia modern yang mengalami krisis identitas dan moral. Filsafat ini mengajarkan bagaimana manusia modern harus melepaskan diri dari keterkungkungan dan ketergantungan pada segala sesuatu diluar dirinya.




Daftar pustaka
Harun hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Jogjakarta
Rukiyati, Pemikiran Pendidikan Menurut Eksistensialisme, makalah Maret 2009
Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Rene Descrates Hingga Revolusi Sains Ala Thomas Khun, Ar-Ruz Media, Jogjakarta, hal. 152


[1] Rukiyati, Pemikiran Pendidikan Menurut Eksistensialisme, makalah
[2] Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Rene Descrates Hingga Revolusi Sains Ala Thomas Khun, Ar-Ruz Media, Jogjakarta, hal. 152
[3] Ibid, hal. 152
[4] Martin Heidegger, Wikipedia.com
[5] Ibid
[6] Harun hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Jogjakarta, hal. 124
[7] Ibid, hal. 125
[8] Ibid, hal. 152-153
[9] Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Rene Descrates Hingga Revolusi Sains Ala Thomas Khun, Ar-Ruz Media, Jogjakarta, hal. 159