Entri Populer

Selasa, 13 Maret 2012

kritik matan hadits

KRITIK MATAN HADITS
A.    PENDAHULUAN
Hadits bagi umat Islam menempati urutan kedua sesudah Al-Qur’an, disamping sebagai sumber ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah SAW, juga karena fungsi sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al Qur’an dan sebagainya. Kebutuhan umat Islam terhadap hadis (sunah) sebagai sumber ajaran agama terpusat pada subtansi doktrinal yang tersusun secara verbaldalam komposisi teks (redaksi) matan hadis. Target akhir pengkajian ilmu hadis sesungguhnya terarah pada matan hadis, sedangkan yang lain ( sanad, lambang perekat riwayat, kitab yang mengkoleksi ) berkedudukan sebagai perangkat bagi proses pengutipan, pemeliharaan teks, dan kritik. Dalam studi hadits, persoalan sanad dan matan yang penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadits. Kedua unsur itu begitu penting artinya, dan antara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya akan berpengaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadits.
B.     KRITIK MATAN
1.      Pengertian
Kata naqd dalam bahasa Arab lazim diterjemahkan dengan “kritik”. Kritik sendiri berarti menghakimi, membanding, menimbang. Naqd dalam bahasa Arab populer berarti penelitian, analisis, pengecekan, dan pembedaan. Dalam pembicaraan umum orang Indonesia kata kritik berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisaan, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya. Dari tebaran arti kebahasaan tersebut, kata kritik bisa diartikan sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (tiruan/palsu).[1]
Kata dasar matan dalam bahasa Arab berarti “punggung jalan” atau “bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas”[2]. Apabila dirangkai menjadi matan al hadits, menurut al-Thibiy seperrti yang dinukil oleh Musfir al-Damini adalah:
الفاظ الحديث التى تتقوم بها المعانى

“kata-kata hadits yang dengannya terbentuk makna-makna”[3]
Definisi ini sejalan dengan pandangan Ibn al-Atsir al-Jazari, bahwa setiap matan hadits tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna (konsep). Dengan demikian, komposisi ungkapan matan hadits pada hakikatnya adalah pencerminan konsep idea yang intinya dirumuskan berbentuk teks. Susunan kalimat dalam matan hadits berfungsi sebagai sarana perumus konsep keagamaan versi hadits. Teks matan disebut juga nash al-hadits atau nash al-riwayah.[4]
Tata letak matan dalam struktur utuh penyajian hadis senantiasa jatuh setelah ujung terakhir sanad. Kebijakan peletakan itu menunjuk fungsi sanad sebagai pengantar data mengenai proses sejarah transfer informasi hadis dari narasumbernya. Dengan kata lain, fungsi sanad merupakan media pertanggungjawaban ilmiah bagi asal usul fakta kesejahteraan teks hadis. Istilah hadits yang dianggap sinonim dengan sunnah oleh muhadissin diartikan sebagai segala sabda, perbuatan, penetapan, pengakuan, sifat perangai, hal ihwal pribadi, dan perjalanan hidup yang bersandarkan pada Rasulullah SAW., baik yang terjadi sebelum diangkat menjadi rasul atau sesuadahnya.
Kritik hadis pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisis secara kritis apakah fakta sejarah kehadisan itu dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat yang terekspos dalam ungkapan matan. Lebih jauh lagi, kritik hadis bergerak pada level menguji apakah kandungan ungkapan matan itu dapat diterima sebagai sesuatu yang secara historis itu benar.
Secara historis, sesungguhnya kritik atau seleksi (matan) hadis  dalam arti upaya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah telah ada dan dimulai pada masa Nabi masih hidup meskipun dalam bentuk yang sederhana. Praktik penyelidikan atau pembuktian untuk meneliti hadis Nabi pada masa itu  tercermin dari kegiatan para sahabat pergi menemui atau merujuk kepada Nabi untuk membuktikan apakah sesuatu benar-benar telah dikatakan oleh beliau. Praktik tersebut  antara lain  pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, ‘Abdullah bin ‘Amr, ‘Umar bin Khattab, Zainab istri Ibn Mas’ud dan lain-lain.
Setelah Nabi wafat (11 H=632 M), tradisi kritik  hadis dilanjutkan oleh para sahabat. Pada periode ini, tercatat sejumlah  sahabat perintis dalam bidang ini, yaitu Abu Bakar as-Siddiq (w. 13 H=634 M), yang diikuti oleh Umar bin Khattab (w. 234 H=644 M) dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H=661 M). Sahabat-sahabat lain yang dikenal pernah melakukan kritik hadis, misalnya ‘Aisyah (w. 58 H=678 M) istri Nabi, dan ‘Abdullah bin  ‘Umar bin al-Khattab (w. 73 H=687 M).[5]

2.      Urgensi Kritik Matan
Menurut Shalahuddin al-Dhabi, urgensi obyek studi kritik matan tampak dari beberapa segi, di antaranya :
a.              Menghindari sikap kekeliruan (tasahhul) dan berlebihan (tasyaddud) dalam meriwayatkan suatu hadis karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan.
b.             Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri periwayat.
c.              Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan hadis dengan menggunakan sanad hadis yang shahih, tetapi matan-nya tidak shahih
d.             Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa periwayat. Di sini, kita harus memiliki teori kritik yang komprehensif untuk menentukan mana yang paling tepat dan pantas untuk dinisbahkan kepada Rasulullah SAW  dan untuk menolak yang tidak sesuai.
Selanjutnya, masih menurutnya, ada beberapa kesulitan dalam melakukan penelitian terhadap obyek studi kritik matan, yaitu :
a.              Minimnya pembicaraan mengenai kritik matan dan metodenya.
b.             Terpencar-pencarnya pembahasan mengenai kritik matan
c.              Kekhawatiran terbuangnya sebuah hadis.[6]
Selain itu, menurut M. Syuhudi Ismail penelitian terhadap matan memang sulit dilakukan.  Kesulitan penelitian matan disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:
a.              Adanya periwayatan secara makna.
b.             Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja.
c.              Latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah dapat diketahui.
d.             Adanya kandungan hadis yang berkaitan dengan  hal yang berdimensi “supra rasional”.
e.              Dan masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan hadis.[7]

3.      Kriteria Kesahihan Matan
Ulama hadits dalam menetapkan dapat diterimanya suatu hadits tidak hanya mensyaratkan hal-hal yang berkaitan dengan rawi hadits saja. Hal ini, disebabkan karena hadits sampai kepada kita melalui mata rantai yang teruntai dalam sanad-nya. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits disela-sela mata rantai tersebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadits yang dapat diterima dan mana hadits yang harus ditolak.
Pada umumnya para pakar hadits mengklasifikasikan hadits kedalam tiga bentuk, yaitu: shahih, hasan dan dha'if. Adapun hadits maudhu' tidak termasuk dalam pembagian tersebut, karena pada dasarnya itu bukan hadits. Penyebutannya sebagai hadits hanya dikatakan oleh orang yang suka membuatnya.
Sebagai langkah selanjutnya adalah mengadakan penelitian pada bidang materi (matan) dengan memakai criteria-kriteria atau patokan yang secara garis besarnya sebagai berikut:
a.       Ungkapannya tidak dangkal, sebab yang dangkal tidak akan pernah diucapkan oleh orang yang mempunyai apresiasi sastra tinggi atau fasih.
b.      Tidak menyalahi orang yang luas pandangannya atau pikirannya, sebab sekiranya menyalahi tidak mungkin ditakwil.
c.       Tidak menyimpang dari kaedah umum dan akhlak.
d.      Tidak menyalahi perasaan dan pengamatan.
e.       Tidak meyalahi cendekiawan dalam bidang kedokteran dan filsafat.
f.       Tidak mengandung kekerdilan, sebab syari’ah jauh dari sifat kerdil.
g.      Tidak bertentangan dengan akal sehubungan dengan pokok-pokok kaidah, termasuk sifat-sifat Allah dan Rosul-Nya.
h.      Tidak bertentangan dengan sunatullah mengenai alam semesta dan kehidupan manusia.
i.        Tidak mengandung sifat na’if, sebab orang berakal tidak pernah dihinggapinya.
j.        Tidak menyalahi al-Qur’an dan al-Sunnah yang telah jelas hukumnya, tidak juga menyalahi ijma’ para ulama ataupun ketetapan agama yang telah menjadi keharusan yang tidak perlu ditafsirkan lagi.
k.      Tidak bertentangan dengan sejarah yang telah diketahui umum mengenai zaman Nabi.
l.        Tidak menyerupai mazhab rawi yang ingin benar sendiri.
m.    Tidak menguraikan riwayat yang isinya menonjolkan kepentingan pribadi.
n.      Tidak mengandung uraian yang isinya membesar-besarkan pahala dari perbuatan yang minim dan tidak mengandung ancaman besar terhadap perbuatan dosa kecil.
o.      Tidak meriwayatkan suatu kejadian yang dapat disaksikan orang banyak,padahal riwayat tersebut hanya disaksikan oleh seorang saja.[8]

4.      Prosedur kritik matan
Langkah-langkah metodologis kegiatan kritik matan adalah sebagai berikut:
a.         Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.
1). Meneliti matan sesudah meneliti sanad. Diilihat dari segi objek penelitian, matan dan sanad hadis memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-sama penting untuk diteliti dalam hubungannya dengan status kehujahan hadis. Dalam urutan kegiatan penelitian hadis, ulama hadis mendahulukan penelitian sanad atas penelitian matan.[9]
Setiap matan harus bersanad. Bagi ulama hadis, dua bagian riwayat hadis itu sama pentingnya, hanya saja penelitian matan barulah mempunyai arti apabila sanad bagi matan hadis yang bersangkutan telah jelas-jelas memenuhi syarat. Tanpa adanya sanad, maka suatu matan tidak dapat dinyatakan berasal dari Rosulullah. Apabila ada suatu ungkapan yang oleh pihak-pihak tertentu dinyatakan sebagai hadis nabi, padahal ungkapan tersebut sama sekalai tidak memiliki sanad, maka menurut pala ulama hadis ungkapan tersebut dinyatakan sebagai hadis palsu.[10]
2). Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanadnya,. Menurut ulama hadis, suatu hadis barulah dinyatakan berkualitas shahih apabila sanad dan matannya sama-sama berkualitas shahih. Dengan demikian hadis yang sanadnya shahih dan matannya tidak shahih atau sebaliknya sanadnya dhaif dan matannya shahih, tidak dinyatakan sebagai hadis shahih.
3). Kaidah kesahihan matan sebagai acuan.
b.         Meneliti susunan lafal yang semakna.
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafal pada matan hadis yang semakna adalah karena dlam periwayat hadis telah terjadi periwayatan secara makna. Menurut ulama hadis perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama shahih, maka hal itu tetap dpat ditoleransi.[11]
c.         Meneliti kandungan matan
Membandingkan kandungan matan yang semakna atau tidak bertentangan.
Setelah susunan lafal diteliti, maka langkah berikutnya adalah meneliti kandungan matan. Dalam meneliti kandungan matan, perlu diperhatikan matan-matan dan dalil-dalil lain yang mempunyai topic masalah yang sama. Apabila kandungan matan yang diperbandingkan ternyata sama, maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian telah berakhir. Apabila kandungan matan yang diteliti ternyata sejalan dengan dalil-dalil yang kuat, minimal tidak bertentangan, maka dapatlah dinyatakan bahwa kegiatan penelitian telah selesai. Apabila yang terjadi sebaliknya, yakni kandungan matan yang bersangkutan tampak bertentangan dengan matan atau dalil yang kuat maka kegiatan penelitian ini masih harus dilakukan.[12]
d.        Menyimpulkan hasil penelitian.
Setelah langkah-langkah yang telah dikemukakan diatas selesai dilakukan, maka langkah terakhir yang dilakukan oleh peneliti adalah menyimpulkan hasil penelitian matan. Karena kualitas matan hanya dikenal dua macam saja, yakni shahih dan dhaif, maka kesimpulan penellitian matan juga akan berkisar pada dua kemungkinan tersebut. Sebagaimana penelitian sanad, maka dalam menyimpulkan penelitian matan juga harus didasarkan kepada argument-argumen yang jelas. Argument-argumen itu dapat dikemukakan sebelum diajukan natijah ataupun sesudah dijatuhkan natijah.
Sedangkan menurut Hasjim Abbas, langkah-langkah kritik matan terdiri atas:
a.       Proses kebahasaan, termasuk kritik teks yang mencermati keaslian dan kebenaran teks, format qauli atau format fi’li. Target analisis proses kebahasaan matan hadis ini tertuju pada upaya penyelamatan hadis dari pemalsuan dan jaminan kebenaran teks hingga ukuran sekecil-kecilnya.
b.      Analisis terhadap kandungan isi makna pada matan hadis. Target kerja analisisnya berorientasi langsung pada aplikasi ajaran berstatus layak diamalkan, harus dikesampingkan atau ditangguhkan pemanfaatnnya sebagai hujjah syar’iyyah.
c.       Penelusuran ulang nisbah (asosiasi) pemberitaan dalam matan hadis kepada narasumber.[13]
5.      Contoh penelitian matan hadis
Meneliti matan hadis yang kandungannya tampak bertentangan dengan matan hadis yang lain.
Dalam hadis riwayat Muslim, ad-Darimi, dan Ahmad dinyatakan:
عن أبى سعيد الخدري أنّ رسول الله صلله عليه وسلم قال: ولا تكتبوا عنِّى ومن كتب عنِّى غير القرآن فليمحه. (روه المسلم والدارمي و أحمد)
“(hadis riwayat)  dari Abu Sa’id al Khudri bahwa Rosulullah telah bersabda, Janganlah kamu tulis (apa yang berasal) dariku dan barang siapa yang menulis dariku selain Alquran, maka hendaklah dia menghapusnya.”
Hadis diatas tampaklah berbeda bertentangan dengan hadis riwayat al-Bukhari,Muslim, dan Abu Daud yang berbunyi:
عن أبى هريرة عنِ النّبيِّ قال: اُكتبوا لأبِى شاه. (روه البخاري ومسلم و أبو داود)
(hadis riwayat) dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW,… beliau bersabda (kepada para sahabat), Tulislah (khotbah saya tadi) untuk Abu Syah (yang telah minta untuk dituliskan tersebut).
Masih ada beberapa hadis yang senada dengan kedua hadis yang disebutkan terakhir diatas. Kandungan matan hadis yang dikutip pertama tampak bertentangan dengan kandungan matan hadis berikutnya.
Dalam upaya menyelesaikan kandungan matan hadis yang tampak bertentangan itu, ulama berbeda pendapat. Ibnu Hajar al-Aasqalani telah menghimpun pendapat-pendapat itu menjadi lima macam, yakni:
1.         Pengkompromian, dalam hal ini hadis yang mengandung larangan menulis hadis dipahami sebagai berstatus khusus (khass) untuk saat ayat Alquran turun dan keizinan menulis hadis berlaku di luar waktu tersebut. Kebijaksanaan Nabi itu berlatar belakang kekhawatiran terjadinya kerancuan catatan Alquran dengan yang bukan Alquran.
2.         Pengkompromian, dalam hal ini larangan penulisan dipahami sebagai berstatus khusus (khass) bagi yang mencampuradukkan catatan Alquran dan hadis Nabi pada satu himpunan catatan, sedang keizinan berlaku bagi yang melakukan penulisan secara terpisah antara catatan Alquran dan catatan hadis Nabi.
3.         Penerapan an-nasikh wal-mansukh, yakni hadis yang berisi larangan menulis hadis merupakan kebijaksanaan Nabi yang datangnya lebih dahulu, sedang kebijaksanaan yang terakhir berisi keizinan untuk menulis hadis sebab kekhawatiran terjadinya kerancuan catatan Alquran dan hadis telah tidak ada lagi.
4.         Pengkompromian, dalam hal ini larangan berstatus khusus bagi orang yang kuat hafalannya yang dikhawatirkan dia lalu hanya menyandarkan pengetahuan hadisnya kepada catatan saja, sedang keizinan menulis hadis diberikan kepada yang tidak kuat hafalannya.
5.         Menurut al-Bukhari dan lain-lain, hadis yang mengandung larangan menulis hadis, yakni riwayat Abu Sa’id al Khudri tersebut berstatus mauquf (hadis yang disandarkan kepada sahabat dan tidak sampai ke Nabi); hal itu menjadikan hadis yang bersangkutan mengandung cacat (‘illat).  Dan karenanya tidak dapat dijadikan hujjah.
Penjelasan ini dijadikan rujukan oleh ulama berikutnya. Ahmad Muhammad Syakir menyatakan bahwa dari kelima pendapat itu, yang kuat adalah yang menerapkan an-nasikh wal-mansukh, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1.      Hadis yang dikutip kedua (riwayat Abu Hurairah tentang perintah menulis untuk diberikan kepada Abu Syah) terjadi pada waktu fathu Makkah, sedang hadis riwayat Abu Sa’id al Khudri yang berisi larangan menulis selain Alquran terjadi sebelum fathu Makkah.
2.      Menurut pengakuan Abu Hurairah, yang membedakan dirinya dengan ‘Abdullah bin ‘Amr adalah soal mencatat hadis, yakni Abu Hurairah hanya mengandalkan hafalan, sedangkan ‘Abdullah bin ‘Amr selain menghafal juga menulis hadis-hadis yang diterima dari Nabi. Kata Saykir lebih lanjut, pengakuan Abu Hurairah itu menunjukkan bahwa kegiatan menulis yang dilakukan oleh Ibn ‘Amr itu adalah pada masa setelah Abu Hurairah memeluk Islam. (Abu Hurairah masuk Islam sekitar tiga tahun sebelum Nabi wafat).[14]
C.     Penutup
Sekiranya setiap matan hadis telah secara meyakinkan berasal dari Rosulullah, maka penelitian terhadap matan, demikian juga terhadap sanad hadis tidak diperlukan. Kenyataanya, seluruh matan hadis yang sampai ke tangan kita berkaitan erat dengan sanadnya, sedang keadaan sanad itu sendiri masih diperlukan penelitian secara cermat, maka dengan sendirinya keadaan matan perlu diteliti secara cermat juga.
Perlunya penelitian matan hadis tidak hanya karena keadaan matan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga karena dalam periwayatan matan hadis dikenal adanya periwayatan secara bermakna (riwayah bil-ma’na). Ulama ahli hadis memang telah menetapkan syarat-syarat sahnya periwayatan secara makna, namun hal ini tidaklah berarti bahwa seluruh periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadis telah mampu memenuhi dengan baik semua ketentuan itu.







DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasjim, Kritik Matan Hadis, bulan bintang; Jakarta 2006
Ali, Nizar Memahami Hadis Nabi, pustaka pelajar, Yogyakarta
Ismail, Syuhudi Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Bulan Bintang; Jakarta,
Mandzur, Ibnu, Lisan Al Arab (Beirut: dar lisan al – arab, tt) edisi ke III




[1] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal. 13
[2] Ibnu Mandzur, Lisan Al Arab (Beirut: dar lisan al – arab, tt) III: hal. 434-435
[3] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal. 13
[7] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hal. 26
[8] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi, hal. 18-19
[9] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hal. 114
[10] Ibid, hal. 114
[11] Ibid, hal. 124
[12] Ibid, hal. 133
[13] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal. 16
[14] Syuhudi Ismail, Metodologi…., hlm 138-141